Senin, 17 Februari 2020

Banjir Semarang: Adaptasi Bukan Solusi




Belum ada –jika tidak dikatakan tidak ada- solusi untuk masalah penurunan tanah di wilayah Utara Pulau Jawa. Permasalahan penurunan tanah terus berlarut-larut dan muncul rob menjadi salah satu masalah yang ditimbulkan. Sebagian wilayah Demak, Semarang, dan Pekalongan menjadi daerah yang terkena imbasnya. Khusus di Kota Semarang, daerah Tambak Rejo, Kali Gawe dan Genuk “berlangganan” rob setiap bulan.

Setidaknya secara kasat mata kita belum bisa melihat sebuah tindakan yang benar-benar bisa mengatasi masalah yang “menenggelamkan” daratan Semarang Utara. Sampai sejauh ini, tindakan yang tampak berupa peninggian badan jalan di daerah-daerah yang terkena rob. Hal ini mungkin sedikit menyelamatkan para pengendara dari rob sehingga pengendara tidak perlu khawatir lagi basah, kotor, atau bahkan kendaraan mogok akibat rob. Akan tetapi, kondisi semacam itu hanya bersifat sementara. Walau bagaimanapun, masalah utamanya tidak akan teratasi. Penurunan tanah terus terjadi. Selanjutnya hanya perlu menunggu waktu badan jalan yang telah ditinggikan tersebut akan terendam rob lagi.

Saya ingat pengalaman saya menempuh jalan yang terendam rob. Beberapa bulan yang lalu, sekitar bulan April 2017, saya ngikut pulang ke rumah seorang kawan dari Jepara. Perjalanan Unnes ke Jepara ditempuh dengan menggunakan sepeda motor. Bisa dikatakan dalam perjalanan tersebut jalanan Kali Gawe dan Genuk lah yang memiliki track paling menantang. Memang dasar saya kurang beruntung karena harus melalui jalan tersebut saat tergenang rob. Kami harus menyisingkan celana dan merelakan kaki kotor. Bahaya mogok juga mengancam jika mesin motor yang kami kendarai kemasukan air. Belum lagi ancaman bahaya lubang-lubang di jalan yang menjadi tak terlihat oleh genangan air rob. Sepanjang perjalanan membelah air laut yang masuk ke daratan, kawan saya bercerita tentang pengalamannya menempuh jalan itu. Tentu saja itu bukan pengalaman yang menyenangkan. Selama perjalanan dia terus memperingatkan untuk berhati-hati dalam melintasi jalanan yang terkena banjir rob.

Lantas bagaimana dengan mereka yang tinggal di wilayah yang penurunan muka tanah? Rob yang sewaktu-waktu menggenangi rumah-rumah mereka seketika. Air laut itu bukan hanya membawa suasana lembab, basah yang membuat penghuni merasa tidak nyaman, namun juga membawa lumpur dan sampah yang menunggu dibersihkan kala rob tersebut surut. Selain itu, penurunan muka tanah menyebabkan rumah-rumah warga “tenggelam” ke dalam tanah. Oleh karena itu, warga harus menyisihkan uang untuk meninggikan rumah mereka yang terus tenggelam.

Pemerintah Kota Semarang tentu telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah rob. Beberapa upaya ini diwujudkan dalam peraturan daerah (perda). Akan tetapi, kenyataan dilapangan menunjukkan belum banyak terjadi perubahan. Masalah yang terus berlarut dan tidak menemukan penyelesaian membuat mereka harus beradaptasi dengan rob yang datang sewaktu-waktu dan permasalahan lainnya yang disebabkan penurunan muka tanah.

Memprediksi jadwal kedatangan rob dan meninggikan rumah adalah bentuk adaptasi yang dilakukan warga Tambak Rejo. Mereka yang tidak memiliki uang untuk meninggikan rumah harus “menyambut” air laut masuk ke rumah mereka sewaktu-waktu. Rumah mereka berubah menjadi “rumah sopan” istilah untuk rumah yang terbenam sehingga remakin pendek. Pintu rumah yang menjadi pendek membuat siapapun yang ingin masuk harus menunduk. Situasi ini agaknya menegaskan bahwa adaptasi bukanlah solusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar